Sunday, July 29, 2012

Balada Buruh Kapitalis

Sejak satu posting lalu, tulisan di blog ini dibuat oleh seorang buruh kapitalis, yang dulu pernah menjadi mahasiswi di salah satu universitas paling top negeri ini. Sekarang sudah tidak ada lagi mahasiswi. Si mahasiswi kini telah menggadai namanya dengan 6 digit kode kepada sebuah perusahaan swasta milik asing.

Bukan. Bukan si buruh tidak menikmati bekerja di perusahaan itu. Si buruh senang bisa bersosialisasi dengan lingkungan baru, sebelas duabelas dengan hobinya semasa kuliah dulu. Bukan pula si buruh tidak bersyukur. Si buruh bersyukur sekali setelah mengalami beberapa kali wawancara dan psikotes untuk mendapat posisi buruh kapitalis yang ternyata sulit.

Si buruh takut. Takut otaknya mati. Tidak bisa berpikir kritis lagi. Lebih parah, sama sekali tidak bisa berpikir lagi. Si buruh takut suaranya dibeli. Takut ia tidak bisa bersuara lagi lantaran pikiran dan polah tingkahnya dibatasi aturan korporasi. Si buruh takut dirinya tidak peka lagi. Takut akan hilangnya nilai-nilai sosial yang sudah terpatri.

Si buruh sekarang berjuang sendiri supaya otaknya tidak mati. Tidak menjadi otak-otak malas yang selalu ambil jalan pintas. Si buruh sedang dalam pelatihan mandiri supaya otaknya sakau pengetahuan.


Si buruh ingin kuliah lagi. Sudah direstui dan ditawari dimodali asal kuliah di alma mater yang sama. Sedang si buruh inginnya melanjutkan magister ke luar negeri dengan beasiswa. Memang banyak mau. Biar buruh, sini kan juga manusia hahahaha Entah kapan si buruh mencukupkan kerjanya dan mengejar inginnya. Semoga disegerakan.


Di dalam hati si buruh ingin bekerja untuk LSM yang mengangkat isu perempuan. Si buruh menganggap perempuan-perempuan di negerinya harus diberi pengetahuan lebih tentang kesetaraan, hak, dan lain sebagainya. Si buruh ingin melanjutkan studinya di jurusan Women's, Gender, and Sexuality Studies. Ada beasiswa untuk itu, tetapi si buruh tidak yakin bisa dapat satu. Jauh dalam hati, si buruh ingin bekerja di UN Women. Sungguh, si buruh pun rela ditugaskan di Ghana, Kenya, Zambia, dan ataupun di negrara-negara yang  hak-hak perempuannya sungguh tidak ada.

Semoga si buruh bisa menghidupi pekerjaan impiannya yang mulia. Amin.




-S

Farewell Dinner 2K12

Telepon genggam Bapak berdering. Dilihatnya satu pesan masuk. Begini bunyi pesannya:
"Selamat malam, Pak! Apa kabar? Semoga Bapak dan keluarga senantiasa dalam keadaan baik. Begini, saya akan mengadakan farewell dinner mengingat Senin besok saya akan menghuni rumah baru hehehe Acaranya akan diadakan di bistro X, mall Y jam 7 malam sampai selesai. Saya sangat mengharapkan kedatangan Bapak. Salam."
Bapak yang masih memangku tafsir qur'an di tangannya hanya geleng-geleng kepala sambil tersenyum. Bapak tahu bahwa dirinya tidak akan menghadiri acara itu. Beliau meletakkan kembali telepon genggamnya dan kembali meleburkan diri dalam buku tafsirnya.

Berita tentang si pengirim pesan, sebut saja Pak Bu'at, yang akan pindah ke rumah baru lalu lalang di media, cetak maupun elektronik. Maklum Pak Bu'at adalah pejabat tinggi. Dulu pernah menjadi atasan Bapak. Lawan adu argumen Bapak di rapat direksi ketika sama-sama masih menjabat.

 Hari Senin Bapak melihat berita di televisi tentang Pak Bu'at. Beliau sudah pindah ke rumah barunya, Rutan Tipikor LP Cipinang. Ya. Farewell dinner yang tidak dihadiri Bapak adalah acara perpisahan Pak Bu'at dengan rekan-rekannya sebelum dijebloskan ke LP lantaran Pengadilan Tipikor menolak eksepsi Pak Bu'at dalam putusan yang dibuat atas tuduhan memperkaya diri sendiri dan orang lain.

Begitulah. Nampaknya di tahun-tahun penuh pembongkaran kasus korupsi ini lazim sekali farewell dinner di resotran mewah bagi para tersangka tipikor. Belum lagi kamar president suite di Hotel Prodeo yang dengan mudah bisa didapatkan asal kuat sogok sipir sana-sogok sipir sini.

-S

Saturday, July 28, 2012

Manusia Postmodern

"Seorang manusia postmodern yang berdaulat sejati tidak diperbudak ilmu pengetahuan. Ia menguasai pengetahuan. Bukan dikuasai pengetahuan."

Bilangan Fu, Ayu Utami

  Photo by Photos Hobby via Unsplash Old wounds are not worth revisiting. -S