Sunday, November 06, 2011

LE 1ER FESTIVAL DE FRANCE 2011



MAHASISWA PROGRAM STUDI PRANCIS
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA - UNIVERSITAS INDONESIA
MEMPERSEMBAHKAN:


LE 1ER FESTIVAL DE FRANCE
«dans quelle couleur voulez-vouz vivre?»

10 -11 NOVEMBER 2011

FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK

Friday, November 04, 2011

Kamis (agak) Mikir

Akhir minggu lagi; rasanya kalau masih harus mikir tugas dan kerjaan nggak layak disebut akhir pekan. Baru sampai rumah. Perjalanan Depok - Bekasi makan waktu sampai 3 jam. Sungguh terlalu. Biasanya paling lama 1.5 jam. Badan sakit semua. Kurang tidur. Tugas numpuk macam dosa. Ditambah galau.

Dua hari ini (Kamis dan Jumat) banyak banget hal-hal yang bikin saya melek kehidupan. Cerita nih ya..

Hari Kamis (3 Nov 2011) saya melihat 2 bapak yang dulu bekerja di perpustakaan FIB, sekarang mereka dipindahkan di perpustakaan pusat, Crystal of Knowledge (kalau nggak salah namanya itu). Iya, perpustakaan yang katanya tercanggih se-Asia Tenggara itu. Entah deh se-Asia atau se-Asia Tenggara. Walaupun sudah 3 tahun kuliah di FIB dan lumayan sering ke perpustakaan, saya nggak tahu nama-nama beliau. Terlalu ya?

Jadi saya duduk di peron 2 (peron ke Jakarta) dan mereka duduk di seberang, peron 1 (peron ke Depok). Dengar-dengar si bapak perpus #1 anaknya meninggal tertabrak kereta saat liburan semester 3 (tahun 2009 kira-kira). Lalu, bapak perpus #2 air mukanya sendu sekali. Nggak tepat sih, kalau saya bilang sendu. Gimana ya? Wajah tuanya menyiratkan rasa lelah, nrimo, dan tenang. Lama saya memandangi mereka dari seberang peron, nggak tahu deh kalau mereka sadar sedang saya amati :p Lalu tiba-tiba muncul di benak saya sebuah pertanyaan. "Mereka bekerja di tempat sebesar Crystal of Knowledge tapi apa rupiah yang masuk ke rekening mereka setiap bulannya besar juga?

Semoga saja itu rupiah yang masuk rekening berkah dan cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka. Amin. Nggak tega rasanya membayangkan mereka yang setiap hari harus naik kereta; kalau pagi berdesakkan dengan komuter yang juga menuju Jakarta via kereta dan sorenya berdesakkan dengan komuter yang kembali ke Bogor. Kereta ekonomi tujuan Bogor lalu datang. Kereta belum begitu penuh. Sosok dua bapak penjaga perpus menghilang bersama kereta ekonomi tujuan Bogor.

Sepuluh menit kemudian komuter line tujuan Jakarta Kota yang saya tumpangi datang. Sore itu, alhamdulillah, masih dapat duduk; kereta cukup ramai. Di seberang saya, duduk lesehan di depan pintu kereta, dua bapak yang sepertinya adalah kuli cabutan. Pakaiannya lusuh dan kotor, boot karetnya dekil, yang satu memakai sendal jepit, dekil juga kakinya. Si bapak ber-boot sepertinya sudah berumur 60 tahuanan. Entah benar usianya segitu atau mudanya habis diserap derita. Lalu kembali muncul di pikiran saya. "Memang berapa bayaran seorang kuli panggul, sih? Mewah sekali rasanya kalau mereka naik komuter seharga Rp 6.000,- Memang masih ada uang untuk makan dia dan keluarganya? Masih ada ongkos dari Stasiun Tebet sampai rumah?"

Tetiba ingat beberapa kelakuan teman di kampus yang dengan gampangnya mengeluarkan rupiah. Kelakuan sendiri yang masih suka minta uang sama orang tua. Pikir-pikir lagi deh kalau mau minta uang sama Bapak atau Ibu. Semoga itu nggak sekedar tulisan di blog aja ..


-S

Wednesday, November 02, 2011

Semoga (Hati) Kita Berkolokasi

Entah kenapa akhir-akhir ini saya terlalu sensitif sampai-sampai hal-hal linguistis pun dibridgingkan ke masalah hati. Kali ini korbannya adalah kolokasi. Pernah dengar? Anak sastra pasti sudah nggak asing lagi dengan istilah ini. Menurut kateglo, artinya seperti ini:
ko·lo·ka·si n Ling asosiasi tetap antara kata dan kata lain dl lingkungan yg sama; ber·ko·lo·ka·si v mempunyai tautan padu
Misalnya begini, kita akan membuat kalimat yang pesannya adalah "pahlawan meninggal". Kalimat "pahlawan meninggal" tidak salah tapi dari segi rasa, kata "meninggal" kurang cocok jika disandingkan dengan "pahlawan". Untuk menggantikan kata "meninggal" kita memiliki daftar kata lain yang masih dalam lingkungan yang sama yaitu, "wafat", "berpulang" "mangkat", "gugur", "tewas", "binasa", dll. Lazimnya kata "pahlawan" disandingkan dengan kata "gugur". Mengapa gugur? Karena gugur berarti,
gu·gur 3 mati dl pertempuran: dua orang prajurit -- dl pertempuran itu;
 lebih cocok, 'kan?  Mungkin karena "gugur" bisa menguatkan dan memberi nilai rasa tambahan pada kata "pahlawan".

Hah. Mari belokkan ke masalah hati. Saya harap, (hati) saya berkolokasi dengan kamu.

Begini. Ibaratkan hati itu sebuah kata; maknanya tidak cukup dijelaskan dalam ratusan lembar kertas atau satu seri ensiklopedi. Hati punya daftar kolokasi. Kalau 'hati kamu' dikolokasinkan dengan sederet 'hati lain', kelihatannya sih bakal manis. Tapi hati saya seperti teriris? :'(

Ganti ya. Hati saya yang sekarang jadi subyek, kasihan kalau terus-terusan diobyekkan.

'Hati saya' dikolokasikan dengan 'hati lain'. Mungkin si 'hati lain' ini jika berdiri sendiri, dari segi rasa, maknanya lebih rendah atau bisa jadi lebih tinggi dari pada 'hati kamu' tapi saya prefer 'hati kamu'. Kenapa? Nggak tahu. Saya maunya kamu. Eh, 'hati kamu'. Ya, kamunya juga sih :""" Sama kayak "pahlawan" yang berkolokasi dengan "gugur". Oh. Mungkin karena makna 'hati kamu' itu bisa memberi nilai rasa tambahan ya, untuk 'hati saya'? Bisa jadi, sih.

Saya nggak peduli kalau kita nggak berkolokasi sekarang (baca: akhir 2011 - awal 2012, sialan sih pake deadline). Saya maunya kamu sadar kalau 'hati saya' adalah kolokasi yang tepat untuk 'hati kamu'. Saya maunya kebertautan kita saling memperkuat makna masing-masing. Saya maunya orang-orang punya aspek kognitif 'hati kamu' begitu 'hati saya' disebut.

Saya kebanyakan mau, ya? Biar. Kan subyeknya 'hati saya'. Toh, saya tidak tahu apa yang dimaui 'hati kamu'. Saya nggak egois. Saya bisa diajak nego kok tentang maunya 'hati saya' dan 'hati kamu', Tapi kalau kamu nego untuk nggak berkolokasi sama 'hati saya', mau nggak mau saya belajar nrimo (lagi).

Tapi saya maunya kamu. Eh. 'HATI KAMU'.


-S

Tuesday, November 01, 2011

GALAU: Tren atau Fenomena?

Iseng cari arti kata galau di KBBI dalam jaringan (KBBI on line). Kurang lebih artinya:
galau a, bergalau a sibuk beramai-ramai; ramai sekali; kacau tidak karuan (pikiran); kegalauan n sifat (keadaan hal) galau


Mungkin ya, makna galau sebagai 'kacau tidak karuan (pikiran)' itu sudah turun ke hati. Saya sering sih, pakai istilah galau yang maknanya turun ke hati. :"""

Udah ah, napa jadi semantis gitu bahasannya?

Jadi begini. Waktu itu saya baru tahu nih, kalau istilah galau sudah muncul di zaman dosen saya masih kuliah. Saya lihat ucapan terima kasih di skripsi beliau, bawa-bawa istilah galau. Penasaran sih sama penggunaan dan pemaknaan istilah galau zaman beliau sama zaman saya sekarang (lah, napa semantis lagi sob? Yasudahlah) tapi berhubung saya nggak dekat sama beliau, nggak berani nanya deh :p

Yang entah kenapa muncul di benak saya adalah, "galau itu tren atau bukan?" Kayak yang kita tahu deh, tren itu kan timbul tenggelam; ada masa jayanya, terus hilang, terus muncul lagi. Atau galau adalah fenomena yang terjadi di umur-umur mahasiswa macam saya (baca: awal dua puluhan)?

Kalau kita bilang galau itu adalah tren, berarti galau adalah tren yang tidak pada umumnya. Yang namanya tren pasti bersifat sosial, melibatkan banyak individu, tidak hanya sekelompok orang saja (misalnya: mahasiswa). Tren menjangkau semua kalangan tanpa melihat batasan, tetapi pilihan seseorang untuk mengikuti tren tersebut atau tidak berada di tangan masing-masing. Kenapa saya sampai berpikiran bahwa galau adalah tren yang tidak pada umumnya? Penalaran saya begini, jika istilah galau menjadi tren sudah barang tentu istilah itu akan digunakan di setiap lapisan masyarakat. Pasti istilah terebut juga digunakan oleh siswa-siswi yang sedang puber. Iya lah, mereka sedang gas pol cari identitas; nunjukkin diri ke orang-orang di sekitarnya. Apa yangg sedang hits, pasti diikuti. Namun seingat saya, sewaktu saya duduk di SMP atau SMA saya belum mengenal istilah galau. Jangan-jangan saya yang nggak puber? Saya yang nggak nyari identitas? Saya yang nggak berusaha untuk dilihat orang? Ah bodo amat, yang penting saya sudah paham eksistensialisme Sartre. :)

Kemungkinan lain adalah, zaman saya SMP dan SMA peran teknologi dalam kehidupan sosial belum sebesar sekarang. Dulu punya handphone supaya bisa telepon dan sms. Internet pun belum ada jejaring sosial yang digandrungi macam facebook dan twitter. Istilah galau belakangan meluas gegara facebook, twitter, dan jejaring sosial sejenisnya.

Nalar yang kedua, si galau ini adalah fenomena yang terjadi di usia awal dua puluhan. Kembali pada makna 'kacau tidak karuan (pikiran)', jika disebut fenomena galau bisa mengacu pada kekhawatiran orang-orang di usia itu terhadap masa depan. Bisa sih, "pikirannya nggak karuan karena bingung habis lulus mau ngapain" atau "pikirannya nggak karuan karena bingung belum dapat pendamping wisuda". Kalau yang terakhir sih sepertinya makna galau yang turun ke hati ya. :"""

Karena hanya sebuah fenomena yang terjadi di usia awal dua puluhan, maka seharusnya galau tidak terjadi berkelanjutan (beda soal kalau si individu memang tipe melankolis). Fenomena galau pasti akan hilang seiring terjawabnya satu-demi satu kekhawatiran kita. Nah, galau yang turun ke hati nih yang belum terjawab. Atau saya nggak dengar pas ada yang manggil-manggil? :)


-S

Melancholia by Lars von Trier



Saya hanya penikmat film. Bukan orang yang ahli menilai film. Pelajaran Pengkajian Sinema Prancis yang pernah saya ambil menguap begitu saja bak peluh di bawah matahari kota Depok. Saya tidak membaca buku teori film seperti beberapa teman saya yang sangat menyukai film. Saya hanya suka menginterpretasikan karya dari sutradara (atau pun pengarang). Saya hanya memanfaatkan "the death of the author" Barthes dengan baik. :)

Ini film Lars von Trier pertama yang saya tonton. Delapan menit pertama saya nyaris lupa bernafas. Sungguh lupa. Tidak dibuat-buat. Saya bengong melihat indahnya komposisi warna di tiap gambar yang disuguhkan. Saya kagum dengan adegan slow motion di delapan menit pertama tersebut. Luar biasa indah sekali.

Melancholia bukan tipe film yang dapat dipahami dalam sekali tonton. Tentu saja yang saya maksud 'tonton' di sini adalah dilihat dan dipahami. Melancholia terdiri dari dua bagian. Bagian pertama menceritakan Justin (Drew Barrymore) yang mengidap melancholia (gangguan terhadap mood seseorang disebabkan oleh depresi) dan bagian kedua menceritakan Clair (Charlotte Gainsbourg) yang mempercayai bahwa suatu saat planet Melancholia akan menabrak bumi.


Film ini bercerita tentang ketakutan. Justin takut dengan kehidupannya setelah menikah dengan Michael (Alexander Skarsgård). Kedua orang tua Justin bercerai; ibunya memberikan speech pada saat resepsi bahwa ia tidak percaya institusi pernikahan sedangkan ayahnya berpoligini. Terpengaruh oleh kata-kata ibunya, Justin menjadi murung selama resepsi. Ditambah lagi bosnya mengenalkan Justin pada seorang pegawai baru yang dinilai kompeten untuk bekerja di perusahaanya. Dari ekspresi Justin pada gambar yang ditayangkan, saya melihat bahwa Justin merasa cemas akan nasibnya di masa depan; pernikahan dan karir.


Clair. Ibu satu anak. Istri seorang astronom, John (Kiefer Sutherland). Ia percaya bahwa planet Melancholia akan berada dalam jarak terdekatnya dengan bumi dan menghantam bumi; akhir kehidupan. Pada waktu yang telah diperkirakan John bahwa Melancholia akan berada pada jarak terdekat dengan bumi, mereka bersama-sama menyaksikan Melancholia mendekat; John berhasil meyakinkan Clair bahwa Melancholia tidak akan menabrak bumi. Sungguh sayang John melakukan kesalahan, Melancholia semakin lama semakin mendekat. John bunuh diri. Clair dan anaknya mencoba melarikan diri dari kenyataan di hadapannya. Sadar pelariannya tidak berguna, Clair kembali ke kastil; pasrah menghadapi hantaman Melancholia.


Punya rasa takut itu wajar. Apa lagi takut sama masa depan. Tapi menurut saya, masa depan itu tentatif. Segala sesuatunya masih bisa diusahakan. Kita masih bisa memproyeksikan visi kita ke realita. Dengan kerja keras, tentu saja. Untuk urusan kiamat, saya kembalikan lagi pada apa yang kalian percayai. Urusan macam itu saya tidak mau intervensi. Sila bilang saya malas debat. Saya hanya tidak mau mencampuri urusan individu dan keyakinannya. :)




-S

Sunday, October 23, 2011

Stupido Ritmo by Float Project

I'll post a lyric. A song from Float Project, titled Stupido Ritmo. I was touched by this song when the radio club in which I participate held Backstage, an indie music festival, and Float Project became one of our guest star. This song reminds me of someone, and I always smile when I hear it.



You and I painting rainbows when no rain falls on our wall
Smelling raindrops on a hilltop as they fall
You and I laughing loudly with no reasons in our walk
Chasing sunsets, dancing minuet in the dark

Why don't we just disappear
If that could keep us here?

You and I sharing snow fall and the beach sand in our thoughts
Writing love words with our whispers in our hearts
You and I stealing kisses from each other when we fight
Making wishes on the same star every night

Why don't we just dream away
If that could make us stay?
Why can't we just dream away?
We're not real, anyway

ta ra ta ta ta ta ta ra ta ta
ra ta ta ra ta ta ta ra
ta ra ta ta ta ta ta ra ta ta
ra ta ta ra ta ta ta ra

Why don't we just stay this high?
Pretend we're all that fly
Why can't we just stay this high?
We might rule our own sky

You and I singing solo our very own silly song
Playing lovers of all edens all life long
All life long
All life long


Thursday, July 28, 2011

Resurrection, maybe?

Halo jurnal online-ku.


Maaf karena sudah menerlantarkanmu selama kurang lebih tiga bulan. Sebagai mahasiswa tingkat akhir, masa studi saya sudah tiba di hilir. Semester lalu saya begadang, putar otak, cari wangsit sampai sembelit hanya untuk untuk lulus mata kuliah yang akan mementukan nasib di tahun terakhir.




Kali ini saya mau cerita. Tentang hasrat, mimpi, dan memori yang sudah lama mati suri.

Sewaktu kecil saya suka menulis tetapi sekarang kesukaan saya yang satu itu sudah sangat jarang dilakukan. Kenapa? Entahlah. Mungkin karena kesibukan akademis dan non-akademis saya. Dua kegiatan itu terkadang sangat menyita waktu sehingga waktu luang saya biasanya digunakan untuk tidur.

Dulu saya banyak membaca novel. Saya juga rajin mencoba menulis novel. Semasa sekolah dulu saya banyak membaca teen-lit dan chic-lit. Beranjak ke SMA dan kuliah saya mulai membaca semi literatur, roman, dlsb. Saya ingat sewaktu SD saya suka menulis cerita pendek. Sebagian besar tema cerpen saya tetang kisah cinta puteri dan pangeran. Cerpen-cerpen itu saya tulis dengan tulisan tangam. Kalau tidak salah saya punya 2-3 buku yang berisi cerpen saya. Sayangnya buku-buku itu entah di mana rimbanya.

Duduk di bangku SMP dan SMA saya kadang-kadang masih suka menulis. Saya menulis cerita picisan. Tokohnya biasanya remaja. Sungguh sayang tidak ada satu pun cerita-cerita saya yang "jadi". Kenapa? Saya selalu membaca ulang cerita saya sebelum benar-benar selesai dan selalu tidak puas dengan hasilnya.

Meskipun saya sudah jarang menulis, saya masih ingin menjadi seorang penulis. Ya. Itu salah satu hasrat, mimpi dan memori saya sejak kecil.

Salah satu? Lantas yang lain apa? Menari tradisional. Ya. Dulu saya suka menari. Kebanyakan tarian kreasi. Saya pun sudah lupa pakah saya pernah menarikan tarian tradisional  atau belum. Yang jelas kisah karir menari dan menulis saya tidak jauh berbeda. Terpaksa dimatisurikan karena ada tuntutan peran dan kewajiban baru.

Kemarin seharian saya di kamar membaca novel Perahu Kertas karya Dee. Tersentil. Saya sangat amat tersentil dengan ceritanya. Cerita kedua tokoh utama yang masih setia memenuhi hasrat dan mewujudkan mimpi mereka; menjadi pelukis dan juru dongeng. Di buku itu ada saat yang saya sebut sebagai mati suri. Saat kedua tokoh berhadapan dengan  realitas; saat Keenan vacuum melukis dan Kugy sibuk sebagai copywriter. Itu mati suri mereka, tapi mereka bangkit lagi. Melukis dan membuat dongeng akhirnya belum ditahbiskan sebagai memori ketika mereka sudah memiliki karir yang katanya realistis.

Saya berdoa. Semoga sekarang lah saatnya mati suri mimpi-mimpi dan hasrat-hasrat saya disudahi. Saya ingin sekali menghidupkan mereka kembali. Saya ingin menulis lagi. Saya ingin menari (kali ini tarian tradisional) lagi. Saya ingin mimpi-mimpi saya hidup. Saya ingin hasrat-hasrat saya terpuaskan. Saya ingin memori-memori saya diproyeksikan di kehidupan saya sekarang.


S

  Photo by Photos Hobby via Unsplash Old wounds are not worth revisiting. -S