Sebut saja namanya Mbah Upas. Beliau juragan tanah di kampung ini. Tanah-tanah itu adalah hasil pengabdian beliau kepada Belanda. Mbah Upas menikah dua kali. Dari pernikahan pertamanya beliau memiliki empat anak dan dari pernikahan keduanya beliau memiliki lima anak. Anak-anak itu beranak pinak banyak sekali karena pas bikin anak enak sekali.
Mbah Upas sangat terpandang di kampungnya tidak lain dan tidak bukan adalah karena luas tanahnya. Beliau bukan orang yang dermawan. Beliau hanya berderma kepada si fakir yang disukainya. "Suka-suka, kan saya si Kaya," katanya.
Mbah Upas meninggal. Beliau dikebumikan di sepetak tanah pemakaman yang sudah dibelinya untuk area pemakaman keluarga. Tanah Mbah Upas dibagi-bagi ke anak-anaknya. Satu generasi wafat dan generasi selanjutnya tidak ada yang sedisegani Mbah Upas di kampung itu. Keluarga Mbah Upas tetap dihormati dan lebih suka berderma dibandingkan mendiang pimpinan keluarga mereka.
Dua generasi berlalu. Muncul sosok pengganti Mbah Upas yang disegani dan dihormati oleh seluruh anggota keluarga besar dan menjadikan keturunan Mbah Upas merasakan kembali reputasi keluarganya di kampung itu. Si Sosok itu adalah seorang yang berpendidikan dan punya karir cukup sukses di kota; juga menjadi orang terkaya di keluarga. Sosok itu adalah cucu-mantu Mbah Upas; ia menikah dengan cucu perempuan Mbah Upas.
Habis sudah waktu cucu perempuan Mbah Upas di dunia. Si Sosok menduda. Tahun ketiga ia memutuskan kawin dengan janda. Enam anaknya tidak satu suara menanggapi bapaknya. Keluarga besar Mbah Upas tidak peduli, "sibuk urus dapur supaya tetap ngepul", katanya.
Keluarga inti Si Sosok yang semula jadi panutan keluarga besar keturunan Mbah Upas menjadi berkubu-kubu. Ada kubu nggak suka Ibu baru dan kubu bapak butuh teman turu*. Anak-anak si Sosok sempat saling bisu beberapa minggu.
Anak-anak si Sosok yang juga sudah punya anak-anak berulah. Tiga dari enam jadi simpanan, sampai labrak-labrakan tapi lebih heboh dari versi anak SMA. Yang satu percaya sama dukun-dukunan. Satu lagi kalau lagi marah pelariannya nongkrong di cafe sama anak balitanya. Cuma satu anaknya yang hidupnya adem-ayem saja; tinggal di rumah sakit jiwa sama teman-teman yang satu pikiran dengannya.
Di kampung rumah peninggalan Mbah Upas beridiri tidak ada lagi tradisi masak dodol saat hari raya. Tidak ada lagi jejeran mobil plat kota yang pulang saat hari raya. Mobil paling hanya satu-dua, nggak sampai empat-lima. Keluarga Mbah Upas sudah bubar pasar.
Mbah Upas sangat terpandang di kampungnya tidak lain dan tidak bukan adalah karena luas tanahnya. Beliau bukan orang yang dermawan. Beliau hanya berderma kepada si fakir yang disukainya. "Suka-suka, kan saya si Kaya," katanya.
Mbah Upas meninggal. Beliau dikebumikan di sepetak tanah pemakaman yang sudah dibelinya untuk area pemakaman keluarga. Tanah Mbah Upas dibagi-bagi ke anak-anaknya. Satu generasi wafat dan generasi selanjutnya tidak ada yang sedisegani Mbah Upas di kampung itu. Keluarga Mbah Upas tetap dihormati dan lebih suka berderma dibandingkan mendiang pimpinan keluarga mereka.
Dua generasi berlalu. Muncul sosok pengganti Mbah Upas yang disegani dan dihormati oleh seluruh anggota keluarga besar dan menjadikan keturunan Mbah Upas merasakan kembali reputasi keluarganya di kampung itu. Si Sosok itu adalah seorang yang berpendidikan dan punya karir cukup sukses di kota; juga menjadi orang terkaya di keluarga. Sosok itu adalah cucu-mantu Mbah Upas; ia menikah dengan cucu perempuan Mbah Upas.
Habis sudah waktu cucu perempuan Mbah Upas di dunia. Si Sosok menduda. Tahun ketiga ia memutuskan kawin dengan janda. Enam anaknya tidak satu suara menanggapi bapaknya. Keluarga besar Mbah Upas tidak peduli, "sibuk urus dapur supaya tetap ngepul", katanya.
Keluarga inti Si Sosok yang semula jadi panutan keluarga besar keturunan Mbah Upas menjadi berkubu-kubu. Ada kubu nggak suka Ibu baru dan kubu bapak butuh teman turu*. Anak-anak si Sosok sempat saling bisu beberapa minggu.
Anak-anak si Sosok yang juga sudah punya anak-anak berulah. Tiga dari enam jadi simpanan, sampai labrak-labrakan tapi lebih heboh dari versi anak SMA. Yang satu percaya sama dukun-dukunan. Satu lagi kalau lagi marah pelariannya nongkrong di cafe sama anak balitanya. Cuma satu anaknya yang hidupnya adem-ayem saja; tinggal di rumah sakit jiwa sama teman-teman yang satu pikiran dengannya.
Di kampung rumah peninggalan Mbah Upas beridiri tidak ada lagi tradisi masak dodol saat hari raya. Tidak ada lagi jejeran mobil plat kota yang pulang saat hari raya. Mobil paling hanya satu-dua, nggak sampai empat-lima. Keluarga Mbah Upas sudah bubar pasar.
-S
*turu : tidur (bahasa jawa ngoko)
No comments:
Post a Comment